Bunuh Diri (Suicide)
Pada 2022, kita
dikejutkan sebuah berita mengenai seorang mahaiswa Universitas Gadjah Mada
(UGM) Yogyakarta yang tewa terjatuh dari lantai 11 di salah satu hotel di Kota
Yogyakarta. Polsek Bulaksumur, Kabupaten Sleman, DIY mengkonfirmasi bahwa
mahasiswa yang tewas terjatuh tersebut murni karena bunuh diri. Hal tersebut
dibuktikan setelah memeriksa sejumlah saksi dan hasil temuan polisi di tempat
kejadian perkara (TKP). Dalam bukti yang ditemukan, ada sebuah surat gangguan
psikologis korban dari Rumah Sakit JIH Sleman yang ditemukan dalam tas korban.
Bunuh diri, terdengar
mengerikan bukan ? Namun, bagi beberapa budaya, bunuh diri dianggap sebagai
sebuah perbuatan yang memalukan, tetapi ada juga beberapa budaya yang melihat
bunuh diri sebagai sebuah tindakan terhormat. Contohnya di Jepang, bunuh diri dinkenal
sebagai harakiri, tindakan yang
dilakukan untuk menebus kehormatan diri. Hal ini dilakukan ketika individu
tersebut melakukan hal yang memalukan, dengan tujuan memulihkan kehormatan
dirinya, ia harus menebusnya dengan melakukan harakiri tersebut. Di Indonesia sendiri, bunuh diri merupakan hal
yang memalukan dan diaanggap sebagai dosa besar. Meskipun bunuh diri dianggap
sebagai sebuah dosa besar, tetapi kasus bunuh diri di Indonesia terbilang
buruk. Dari data di kamar Mayat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, pada tahun
2004 terdapat 1.119 kasus bunuh diri. Dari jumlah yang ada, diketahui 41% bunuh
diri dengan cara gantung diri dan 23% lainnya menggunakan racun serangga, dan
sisanya lagikarena overdosis.
Apakah bunuh diri
hanya percobaan ataukah yang sudah terjadi? Seseorang memiliki beberapa latar
belakang yang mendorong untuk melakukannya. Hal ini dinamakan sebagai motivasi
seseorang melakukan bunuh diri. Dapat dijelaskan bahwa fenomena bunuh diri
dapat dilandasi satu dari tiga tipe motivasi yaitu ;
1. 1. Melepaskan diri (Escape)
Motivasi
yang sering melandasi tindakan bunuh diri adalah melepaskan diri dari rasa
sakit ataupun penderitaan, baik penderitaan yang bersifat psikologis, maupun
fisik. Rasa sakit atau penderitaan ini, bagi seorang individu yang melakukan
bunuh diri, dianggap tidak dapat ditanggung dan tersasa sangat berat, sehingga
bunuh diri dianggap sebagai satu-satunya cara untuk melepaskan dirinya dari
penderitaan.
2. 2. Balas Dendam (revenge)
Seorang
ahli, bernama Maris (1992), memperkirakan sekitar 20% tindakan bunuh diri di
motivasi oleh rasa marah, dan memanipulasi orang lain. Contoh nyatanya adalah,
seorang siswa SMP bunuh diri setelah berebut remote control dengan kakaknya.
A 3. Altruisme
Bunuh
diri alturisme dilakukan dengan tujuan untuk menggapai cita-cita tertinggi dan
suci. Contohnya pada PD II, kamikaze
dilakukan oleh para tentara Jepang dengan tujuan mengabdi pada rajanya.
Selain itu, banyak faktor yang
mempengaruhi tindakan bunuh diri. Beberapa faktor tersebut dianataranya seperti
disharmoni dalam keluarga, kejadian hidup yang stress, kepribadian, hingga
adanya gangguan psikologis dan isolasi sosial. Beberapa bukti emipris
menunjukkan bahwa banyak kasus bunuh diri terjadi dalam konteks adanya gangguan
psikologis atau mental. Data yang ada menunjukkan, sekitar 93% kasus bunuh diri
didiagnosa memiliki gangguan psikologis. Sekitar 40%-60% gangguan depresi
berimplikasi pada tindakan bunuh diri. Sekitar 15% individu dengan diagnosa
depresi mayor hingga bipolar memiliki kecenderungan bunuh diri lebih tinggi.
Alholisme menempati urutan kedua penyebab bunuh diri. Sekitar 25% kasus bunuh
diri terjadi akibat alkholisme. Walau proporsi individu dengan kasus alcohol
kecil, yakni sekitar 2%-3%, tetapi adanya depresi dan alkoholisme mengakibatkan
risiko tindakan bunuh diri semakin besar. Gangguan kecemasan dan schizophrenia diketahui ikut mendorong
individu dalam melakukan bunuh diri.
Data terbaru menunjukkan, 90% anak
dan remaja yang bunuh diri memiliki gangguan psikologis. Pada remaja khususnya,
impulsivitas merupakan faktor risiko terbesar dalam kasus bunuh diri. Depresi
yang berkombinasi dengan perilaku antisosial, napza, dan kesulitan dalam
mengontrol dorongan, juga merupakan faktor risiko dalam tindakan bunuh diri,
terutama pada remaja laki-laki.
Pertanyaannya adalah, apakah semua
individu yang memiliki gangguan psikis akan selalu melakukan tindakan bunuh
diri? Tentu tidak. Pengaruh dari gangguan psikis terhadap bunuh diri ada pada
terhambatnya kemampuan individu dalam melakukan pertimbangan yang rasional dan
sehat akibat gangguan psikis yang dideritanya. Sebagai contoh, individu dengan
gangguan depresi memiliki kecenderungan bersikap putus asa. Akibatnya,
persepsimereka akan menjadi bias dan irasional. Mereka akan lebih banyak
melihat kehidupan mereka tidak lagi berharga dan tidak ada yang harus
dipertahankan untuk hidup. Hal ini kemudian mendorong mereka memutuskan untuk
bunuh diri secara tragis dalam rangka menghentikan penderitaan yang tak
berujung.
Pada kasus bunuh diri di kalangan
anak dan remaja, banyak ditemukan faktor keluarga yang tidak harmonis, seperti
kurang kasih sayang, adanya konflik dalam keluarga, hubungan yang buruk dalm keluarga,
penyiksaan, hingga perceraian. Pada kepribadian sering kali menunjukkan
kecenderungan impulsive, emosi yang mudah begejolak, lemah dalam pertimbangan,
pencemas, mudah putus asa, dan peraan tidak berharga. Dari segi sosial, banyak
yang mengalami isolasi, tidak punya tema, kehilangan dukungan, dan diabaikan
oleh keluarga dekatnya.
Dilihat dari masih banyaknya kasus bunuh diri, kita harus mengedukasi masyarakat mengenai bunuh diri. Penulis menulis artikel ini karena masih banyaknya kasus bunuh diri di Indonesia, yang seharusnya bisa diminimalisir. Melalui artikel ini, diharapkan masyarakat lebih aware.
Referensi
Safaria, Triantoro. 2021. Psikologi Abnormal : Dasar-Dasar, Teori, dan Aplikasinya. Yogyakarta : Kampus II Universitas Ahmad Dahlan.
Hatta, Raden Trimurti. 2022. Mahasiswa UGM yang Tewa Terjatuh dari Hotel Murni Bunuh Diri, Polisi Temukan Surat Gangguan Psikologis. Liputan 6.
Komentar
Posting Komentar